Peran Guru dalam Membentuk Disiplin Positif Siswa

canva

Guru diibaratkan sebagai seorang petani yang memiliki peranan penting untuk menjadikan tanamannya tumbuh subur.  Seorang guru akan memastikan bahwa tanah tempat tumbuhnya tanaman adalah tanah yang cocok untuk ditanami. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa,

“…kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.” (Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937).

Dari uraian tersebut, kita dapat memahami bahwa sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, nyaman dan melindungi siswa dari hal-hal yang kurang baik. Dengan demikian, diharapkan karakter siswa dapat tumbuh dengan maksimal. Sebagai contoh, siswa yang tadinya kurang rajin membaca Al Quran menjadi rutin membaca Al Quran baik di rumah maupun di sekolah. Siswa akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.

Dengan demikian, salah satu tanggung jawab seorang guru adalah bagaimana menciptakan suatu lingkungan positif yang terdiri dari warga sekolah yang saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik. Kebiasaan-kebiasaan baik akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik, dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.

Budaya positif tidak bisa muncul dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan usaha dari guru dan kerjasama siswa. Dimulai dengan disiplin positif, dimana disiplin tidak bisa muncul secara instan atau langsung “jadi”. Disiplin harusnya dipupuk dan itu membutuhkan proses yang Panjang. Menurut Jeremy Bethan (1800) semua orang termotivasi melakukan sesuatu untuk menghindari rasa sakit dan mendapatkan imbalan. Hal ini mirip dengan teori “carrot and stick approach” dimana teori tersebut menyebutkan bahwa perilaku individu tergantung dari reward and punishment. Reward diibaratkan sebagai wortelnya dan punishment sebagai stik atau tongkatnya, perilaku akan terpacu jika ada reward atau wortelnya. Pada saat ini hadiah dan hukuman memberikan dampak besar untuk siswa seperti hadiah hanya berpengaruh jangka pendek, mengurangi ketepatan, memiliki potensi demotivasi dan merusak hubungan sosial dalam satu kelas. Sama halnya hukuman memiliki beberapa dampak, seperti rasa sakit untuk jangka waktu yang Panjang, menyembunyikan kesalahan, dan membenci kedisiplinan.

Kita sebagai guru tentunya ingin memberikan hal yang baik untuk siswa. Salah satu caranya adalah “mengganti” hadiah menjadi apresiasi serta hukuman menjadi konsekuensi. Perlu diingat bahwa disiplin positif bisa muncul dan terbentuk jika siswa memiliki motivasi dari diri sendiri (internal), oleh karena itu motivasi yang bersifat eksternal (hukuman dan hadiah) tidak efektif untuk membentuk disiplin positif pada siswa. Hal ini karena jika motivasi eksternal dihilangkan, maka siswa tidak memiliki motivasi untuk membentuk disiplin positif.

Salah satu cara untuk membentuk disiplin positif adalah dengan menerapkan kesepakatan/keyakinan kelas. Dimana kesepakatan/keyakinan kelas merupakan hasil Kerjasama antara guru dan siswa. Dimulai dari pembentukan aturan kelas dilanjutkan dengan mengganti aturan kelas menjadi kalimat-kalimat positif. Langkah selanjutnya adalah memastikan kesepakatan yang terbentuk sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini (universal) dan menempel kesepakatan yang telah disusun bersama di kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.

Lantas apa yang harus dilakukan jika salah seorang siswa melanggar kesepakatan/keyakinan kelas? Kita bisa melakukan pendekatan dengan identifikasi masalah, memahami kebutuhan dan perasaan murid, mengajak memecahkan masalah bersama, dan memposisikan kita di posisi kontrol “manajer”. Pada dasarnya seorang siswa melakukan pelanggaran karena tidak terpenuhinya 5 kebutuhan dasar manusia, yaitu kekebasan, kasih sayang dan rasa diterima, bertahan hidup, kesenangan dan penguasaan.

Pendekatan yang bis akita lakukan adalah dengan menggunakan segitiga restitusi. Restitusi menurut Gossen (2004) adalah proses menciptakan kondisi bagi anak untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat. Restitusi melewati tiga tahapan yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Melalui restitusi ini diharapkan siswa dapat memvalidasi Tindakan mereka dan menemukan solusi dari permasalahanya. Dengan serangkaian proses dimulai dari pemahaman tentang hukuman danhadiah, motivasi intrinsic, pembentukan keyakinan/kesepakatan kelas dan proses penyelesaian masalah menggunakan segitiga restitusi diharapkan guru dapat menanamkan sikap disiplin positif siswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *