Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) tergambar secara utuh dan detail sebagai tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Sedangkan pengajaran adalah proses memberikan ilmu terkait kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.
Dalam filosofi Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (KHD), terdapat empat poin penting yang harus dipahami oleh pendidik (guru) yaitu poin pertama pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan masyarakat. Tanpa melupakan kebudayaan yang ada dalam suatu lingkungan belajar, dibuatlah tujuan pendidikan yang membentuk manusia Indonesia yang beradab dan berkarakter baik. Pendidikan sendiri dapat menjadi wadah untuk karakter-karakter budaya Indonesia yang baik dimana budaya tersebut dapat diwariskan atau diturunkan.
Filosofi atau poin kedua adalah pendidikan itu “menuntun”. Menuntun disini bermaksud mengarahkan segala kodrat yang ada pada anak atau siswa agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginnya baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
Poin ketiga dalam filosofi KHD adalah pendidikan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan atau potensi anak. Secara tidak langsung pendidikan dan pendidik sewajarnya mengikuti perkembangan zaman. Sebagai contoh generasi Alpha (Gen A) dimana mereka terlahir pada rentangan tahun 2011-2025 yang sangat melek dengan teknologi. Oleh karena itu, sebagai pendidik harusnya menyesuaikan dengan perkembangan siswa terutama dalam hal perkembangan teknologi (media mengajar dan Pendidikan abad 21). Selain itu pendidik dapat menggali potensi siswa baik secara akademik maupun non akademik, serta membantu siswa menempatkan diri sesuai dengan bakat dan minat.
Poin terkahir atau keempat dalam filosofi KHD adalah pendidikan sama dengan “budi pekerti”. Budi pekerti sendiri adalah perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan hingga menimbulkan suatu tenaga. Budi pekerti ini merupakan dasar atau nilai-nilai karakter yang di dalamnya terdapat komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Budi pekerti dapat diajarkan dengan mudah dengan cara keteladanan (ing ngarso sung tulodo). Pendidik sebagai role model senantiasa memberikan teladan yang baik dalam mengembangkan dan membentuk budi pekerti siswa yang luhur di lingkungan sekolah melalui pembiasaan.
Melalui poin-poin penting tersebut proses pendidikan adalah melatih panca indra, kehalusan budi pekerti dan kecerdasan. Pendidikan harusnya seimbang antara cipta, rasa dan karsa. Selain kesimbangan cipta, rasa dan karsa perlu adanya pengembangan karakter melalui pembiasaan-pembiasaan baik di rumah maupun di lingkungan sekolah. Contoh nyata terkait merdeka mengajar dan penyesuaian materi dengan keberagaman potensi siswa salah satunya melalui proses pemberian layanan Bimbingan dan Konseling, yakni pengaplikasian need assessment atau angket kebutuhan siswa untuk memetakan kebutuhan akan materi BK selama satu tahun. Pemikiran-pemikiran luhur KHD inilah yang menjadi pondasi pendidikan Indonesia yang menghormati dan memperlakukan anak dengan baik sesuai kodratnya serta melayani mereka dengan setulus hati dengan memberikan teladan (ing ngarso sung tulodo), membangun semangat (ing madyo mangun karso) dan memberikan dorongan (tut wuri handayani) bagi tumbuh kembangnya anak. Agar terlahir manusia Indonesia dengan pribadi yang terampil, berakhlak mulia dan bijaksana sehingga dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) tergambar secara utuh dan detail sebagai tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Sedangkan pengajaran adalah proses memberikan ilmu terkait kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.
Dalam filosofi Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (KHD), terdapat empat poin penting yang harus dipahami oleh pendidik (guru) yaitu poin pertama pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan masyarakat. Tanpa melupakan kebudayaan yang ada dalam suatu lingkungan belajar, dibuatlah tujuan pendidikan yang membentuk manusia Indonesia yang beradab dan berkarakter baik. Pendidikan sendiri dapat menjadi wadah untuk karakter-karakter budaya Indonesia yang baik dimana budaya tersebut dapat diwariskan atau diturunkan.
Filosofi atau poin kedua adalah pendidikan itu “menuntun”. Menuntun disini bermaksud mengarahkan segala kodrat yang ada pada anak atau siswa agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginnya baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
Poin ketiga dalam filosofi KHD adalah pendidikan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan atau potensi anak. Secara tidak langsung pendidikan dan pendidik sewajarnya mengikuti perkembangan zaman. Sebagai contoh generasi Alpha (Gen A) dimana mereka terlahir pada rentangan tahun 2011-2025 yang sangat melek dengan teknologi. Oleh karena itu, sebagai pendidik harusnya menyesuaikan dengan perkembangan siswa terutama dalam hal perkembangan teknologi (media mengajar dan Pendidikan abad 21). Selain itu pendidik dapat menggali potensi siswa baik secara akademik maupun non akademik, serta membantu siswa menempatkan diri sesuai dengan bakat dan minat.
Poin terkahir atau keempat dalam filosofi KHD adalah pendidikan sama dengan “budi pekerti”. Budi pekerti sendiri adalah perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan hingga menimbulkan suatu tenaga. Budi pekerti ini merupakan dasar atau nilai-nilai karakter yang di dalamnya terdapat komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Budi pekerti dapat diajarkan dengan mudah dengan cara keteladanan (ing ngarso sung tulodo). Pendidik sebagai role model senantiasa memberikan teladan yang baik dalam mengembangkan dan membentuk budi pekerti siswa yang luhur di lingkungan sekolah melalui pembiasaan.
Melalui poin-poin penting tersebut proses pendidikan adalah melatih panca indra, kehalusan budi pekerti dan kecerdasan. Pendidikan harusnya seimbang antara cipta, rasa dan karsa. Selain kesimbangan cipta, rasa dan karsa perlu adanya pengembangan karakter melalui pembiasaan-pembiasaan baik di rumah maupun di lingkungan sekolah. Contoh nyata terkait merdeka mengajar dan penyesuaian materi dengan keberagaman potensi siswa salah satunya melalui proses pemberian layanan Bimbingan dan Konseling, yakni pengaplikasian need assessment atau angket kebutuhan siswa untuk memetakan kebutuhan akan materi BK selama satu tahun. Pemikiran-pemikiran luhur KHD inilah yang menjadi pondasi pendidikan Indonesia yang menghormati dan memperlakukan anak dengan baik sesuai kodratnya serta melayani mereka dengan setulus hati dengan memberikan teladan (ing ngarso sung tulodo), membangun semangat (ing madyo mangun karso) dan memberikan dorongan (tut wuri handayani) bagi tumbuh kembangnya anak. Agar terlahir manusia Indonesia dengan pribadi yang terampil, berakhlak mulia dan bijaksana sehingga dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
Pergeseran paradigma pendidik yang sesuai dengan pengamalan pemikiran filosofis KHD adalah
- Guru adalah rolemodel untuk siswa
- Setiap siswa itu unik dan berbeda, sehingga para guru seyogyanya membuat model atau media pembelajaran yang berpihak pada siswa
- Setiap siswa memiliki kecepatan memahami pelajaran yang berbeda-beda. Oleh karenanya pendidik atau guru harusnya memahami karakter masing-masing siswa
- Setiap siswa memiliki permasalahan hidup yang berbeda-beda. Tugas kita sebagai “orangtua” di sekolah adalah membantu siswa dalam mengatasi permasalahanya tersebut.
Guru tidak diperkenankan menghakimi karakter siswa yang kurang baik, melainkan tugas kita sebagai guru adalah “menebalkan” karakter siswa yang baik.
Pengamalan pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara ini diharapkan pendidikan di Indonesia mampu berpihak pada siswa. Dengan siswa sebagai pusat pendidikan, sedangkan pendidikan tersebut haruslah bersifat dinamis (berkembang sesuai kebutuhan siswa dan keadaan zaman). Hal ini sejalan dengan perkataan Bapak Pendidikan Indonesia, dimana beliau mengatakan “ Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk meminta suatu hak namun berhamba pada sang anak”.