Mengawali cita-cita yang awal mulanya tak tebersit sebagai seorang “Guru”. Lagi-lagi pikiran kala itu sederhana, menjadi seorang guru gampang dan tak perlu ba-bi-bu. Nyatanya, tak begitu. Kalau diingat-ingat, sewaktu kecil bermimpi menjadi sosok eksmud yang sibuk mengurus bisnis dan hari-hari ‘ngobrol’ campur bahasa Inggris. Agak beranjak remaja, impian ini mulai bergeser jadi CEO muda yang sore harinya asyik rapat di kafe elit sembari cas-cus bahas project. Dilema sontak mendadak, awalnya pebisnis beralih ingin menjadi pengacara saat mulai masuk usia 20-an dengan penuh keraguan.
Hidup tak bisa ditebak dan direncanakan bak liburan akhir pekan. Diri mulai bermain empati dan logika di kala pandemi meraba di pertengahan tahun 2019-2020. Singkat cerita, sekolah harus dilakukan tatap muka dan semuanya diwajibkan berdiam diri di rumah. Kondisi saat itu yang memaksa diri ini menjadi pengajar dadakan menemani anak-anak desa belajar secara sukarela. Perasaan iba dan terpaksa, lama-lama mulai mendalami peran sebagai seorang pengajar. Di titik mula itu, diri ini mulai nyaman menjalani peran sebagai pengajar yang secara langsung menyusuri berbagai karakter setiap insan.
Terlintas di benak, sebagai seorang guru merupakan suatu peranan yang sederhana saja. Nyatanya, lebih kompleks. Sumber, bahkan poros ilmu bagi calon generasi penerus bangsa. Peran tersebut bukan hanya sekadar mewujudkan satu cita-cita saja, melainkan berbagai impian profesi. Dalam kehidupan, guru bisa menjadi multi profesi. Tanpa kita sadari, guru bisa menjadi sosok polisi yang harus bisa menertibkan siswa, sosok psikolog yang harus memahami sisi sudut setiap elemen dalam diri mereka, sosok dokter yang wajib memahami kondisi kesehatan mereka, seorang model profesional yang harus memberikan contoh terbaik bagi mereka, dan mengisi berbagai profesi lainnya. Hebat! Berbagai profesi tersebut dijalankan dalam satu waktu. Profesi guru ternyata super komplit layaknya makan paket KFC Duk-Duk.
Tak sederhana seperti anggan lalu. Nyatanya lebih kompleks. Sebelum masuk kelas menghadapi karakter unik setiap siswa, guru butuh strategi yang menyenangkan sekaligus menyiapkan “bumbu racikan” yang pas untuk disajikan. Tak hanya strategi dan bumbu racikan saja, apabila kita ingin menjadi sosok guru profesional yang ideal, kita juga harus bisa mengimplementasikan lima poin layaknya sosok Ki Hajar Dewantara, di antaranya (1) mampu berani melakukan perubahan, (2) menjadi penggerak dan pendidik, (3) tetap selalu rendah hati, (4) bijaksana, dan (5) dapat menjadikan suasana belajar layaknya bermain. Sungguh tak mudah, tapi bukan berarti tak bisa. Kembali lagi, sosok pengajar ialah layaknya menu paket KFC Duk-Duk super komplit yang berisi ayam, nasi, french fries, saus, cola water, dan isi hidangan lainnya yang lezat nan nikmat.
Guru satu peran multi profesi yang sangat berperan dalam kehidupan siswa ke depan. Tak akan terlahir presiden, dosen, polisi, tentara, pilot, dokter, perawat, dan profesi hebat lainnya tanpa peran guru. Selain multi profesi, guru juga harus mampu lewati berbagai tantangan, mulai dari harus tetap baik-baik saja meski dunia tak lagi ceria, dituntut selalu siap berdamai hadapi karakter siswa yang beragam, dan tetap harus menjadi teladan hebat bagi mereka setiap harinya. Luar biasa di luar praduga, nyatanya lebih istimewa. Sekali lagi, guru satu peran, multi profesi. Awalnya, kupikir sosok guru hanya menjalankan satu profesi, namun ternyata mesti dapat menyelami berbagai profesi dalam satu waktu.
Kisah ini akan disambung akhir waktu.
“Tetaplah menebarkan ilmu walau hanya sebutir biji jagung, semangat para guru hebat nan luar biasa!”
***