Apa yang ada di benak bapak dan ibu guru ketika mendengar istilah supervisi akademik? Bagaimana perasaan bapak dan ibu guru ketika mendapat giliran supervisi akademik? Ada yang langsung menyiapkan dengan baik, ada yang bertanya kesana-kemari bagaimana supervisornya dalam melakukan supervisi, dan tak sedikit pula yang merasa cemas, deg-degan, khawatir, dan kebingungan saat akan disupervisi. Perasaan yang demikian sering kali muncul di hati bapak dan ibu guru dikarenakan paradigma supervisi akademik yang menjadi sebuah ajang peradilan proses pembelajaran yang dilakukan oleh bapak dan ibu guru di dalam kelas. Masih adanya pihak yang beranggapan bahwa supervisi akademik merupakan penilaian profesional dan pedagogik semata yang menjadi penentu baik atau buruknya kinerja seorang guru, menjadikan kegiatan supervisi akademik sebagai ‘momok’ yang menakutkan.
Secara definisi, supervisi akademik adalah serangkaian aktivitas dengan tujuan untuk memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Supervisi akademik perlu dimaknai secara positif sebagai proses perbaikan dan cerminan pembelajaran bagi seorang guru dalam bentuk kegiatan berkelanjutan yang meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Semangat inilah yang menjadi dasar pemikiran pelaksanaan supervisi yang tepat sebagai bentuk peningkatan performa guru.
Dasar pelaksanaan supervisi sebagai bentuk peningkatan performa guru tercantum pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 14 ayat 1, yang berbunyi dalam rangka meningkatkan kualitas proses pembelajaran, penilaian proses pembelajaran dapat dilaksanakan oleh sesama pendidik, kepala satuan pendidikan, dan atau peserta didik. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut kegiatan supervisi merupakan asesmen oleh teman sejawat, kepala satuan pendidikan, dan atau peserta didik dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru di satuan pendidikan tempat pendidik bersangkutan berada. Kualitas pembelajaran oleh guru diharapkan meningkat melalui supervisi akademik, namun hal ini tidak berarti supervisi akademik hanya berfokus pada peningkatan keterampilan dan pengetahuan semata. Kualitas guru yang diharapkan untuk berkembang juga termasuk didalam peningkatan motivasi atau komitmen diri.
Memang dalam pelaksanaannya, tidak bisa kita pungkiri bahwa seringkali supervisi akademik dilihat sebagai sebuah proses yang bersifat satu arah. Apalagi jika supervisi akademik ini hanya terjadi satu tahun sekali menjelang akhir tahun pelajaran, supervisi menjadi sebuah tagihan atau kewajiban para kepala satuan pendidikan dalam tanggung jawabnya mengevaluasi para guru pada satuan pendidikan yang dipimpinnya. Sehingga, memunculkan pandangan bahwa supervisi akademik merupakan kegiatan menakutkan dan menegangkan. Saatnya sekarang kita mengembalikan semangat supervisi akademik mula-mula sebagai proses berkelanjutan yang memberdayakan, dengan melihatnya menggunakan kacamata coaching.
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Di dalam coaching, kepala satuan pendidikan atau supervisor yang ditunjuk bertindak sebagai coach harus hadir penuh (presence) pada guru yang disupervisi (Cochee), mendengarkan dengan aktif, fokus pada apa yang dikatakan oleh lawan bicara dan memahami keseluruhan maknanya, dan mengajukan pertanyaan berbobot yang dapat menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensinya. Selain itu proses coaching dapat dilakukan dengan alur percakapan TIRTA sebagai berikut.
- Tujuan awal, merupakan percakapan kesepakatan kedua pihak coach dan coachee dalam menyepakati tujuan pembicaraan yang akan berlangsung
- Identifikasi masalah, tahapan yang dilakukan oleh coach dan coachee untuk fokus pada masalah yang akan diselesaikan
- Rencana aksi, pengembangan ide atau alternatif solusi oleh coach dan coachee untuk rencana yang akan dibuat
- Tanggung jawab, coach dan coachee membuat komitmen atas hasil yang ingin dicapai dan untuk menentukan langkah selanjutnya
Sesuai makna kata tirta yang berarti air, coaching dimaksudkan mengalir seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan coachee sebagai air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya tanpa ada perasaan ketakutan maupun kekhawatiran.
Supervisi akademik yang dikemas dalam kegiatan coaching memiliki prinsip dasar yaitu, kemitraan yang menempatkan posisi coach terhadap coachee-nya sebagai mitra yang berarti setara tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Prinsip kedua, yaitu proses kreatif, dilakukan melalui percakapan dua arah yang memicu proses berpikir coachee, memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru. Prinsip ketiga, yaitu memaksimalkan potensi dengan memberdayakan coachee untuk membuat rencana tindak lanjut dari solusi yang telah ditemukan bersama-sama.
Berkiblat dari pemikiran luhur Ki Hajar Dewantara mengenai tujuan pendidikan yang ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat pada manusia, sehingga dapat memperbaiki lakunya, maka dalam setiap interaksi keseharian di sekolah, seorang pemimpin pembelajaran dan sekolah perlu menghidupi paradigma berpikir yang memberdayakan bagi setiap warga sekolah dan melihat kekuatan-kekuatan yang ada dalam komunitasnya. Melalui supervisi akademik potensi setiap guru dapat dioptimalisasi sesuai dengan kebutuhan yang nantinya dapat membantu para guru dalam proses peningkatan kompetensi dengan menerapkan kegiatan pembelajaran baru yang dimodifikasi dari sebelumnya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut adalah melalui percakapan coaching dalam keseluruhan rangkaian supervisi akademik dengan harapan mampu menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia.
Berdasarkan paparan di atas, supervisi akademik yang dibutuhkan oleh guru sebagai bentuk peningkatan performa guru tidak lagi menjadi hal yang menakutkan karena dapat dikemas dalam percakapan-percakapan coaching yang membantu para guru berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali potensi yang ada dalam diri dan komunitas sekolahnya sekaligus menghadirkan motivasi internal sebagai individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan diwujudnyatakan dalam buah pikir dan aksi nyata demi tercapainya pembelajaran yang berpihak pada murid.
Terima kasih atas materinya sangat bagus dan menambah ilmu dan wawasan saya sebagai guru.