Bulan Kedua

Matahari memancarkan sinarnya jauh lebih terang dari hari biasanya. Kicauan burung terdengar begitu ramai, namun menenangkan. Embun pagi yang menetes dari dedaunan terlihat begitu damai dipandang. Hari ini seolah menjadi hari paling cerah yang kualami. Kehidupan seakan berjalan dengan alurnya bagaikan metamorfosa kupu kupu. Keceriaan terlihat jelas pada setiap orang yang kutemui hari ini, terutama para siswa siswi kelas 8D SMP Bahari Elok yang memulai pagi harinya dengan pelajaran olahraga. Ya! Yang tak lain adalah kelasku sendiri.

Jarum jam menunjukkan waktu pukul 08.30 pagi, yang berarti pelajaran pertama telah selesai. Sebuah formasi yang awalnya berisikan siswa siswi yang tengah berolah raga di tengah lapangan, perlahan mulai menghilang. Mereka menyebar mengikuti langkah kaki masing masing, begitu pula denganku. Namun, Langkah kaki ku terhenti ketika melihat seorang gadis berkuncir kuda yang satu kelas denganku tengah berdiri di depan toilet wanita. Ia tampak seperti menunggu seseorang dengan membawa banyak bingkisan kue di tangannya. Aku memperhatikan gadis itu dari kejauhan, karena penasaran dengan apa yang akan ia lakukan. Tak lama kemudian aku melihat sekumpulan gadis lain yang baru saja keluar dari toilet dan menghampiri gadis yang membawa banyak bingkisan itu.

Satu persatu dari sekumpulan gadis itu mengambil bingkisan kue pada tangan si gadis berkuncir kuda dan lalu pergi meninggalkannya. Saat itu rasa penasaranku tak terbendung lagi, aku pun pergi menghampiri gadis yang kini kembali sendirian di depan toilet wanita itu. “Adriani!” Panggil ku, yang membuat gadis berkuncir kuda tadi menoleh. “Apa yang tadi kamu lakukan dengan geng itu?” tanyaku dengan penasaran. “ahahah, aku hanya membantu membawakan barang bawaan mereka yang dititipkan padaku” jawab Adriani sembari tertawa kecil karena melihat wajahku yang amat serius. “Kamu sudah menolongnya, dan mereka tak mengajakmu untuk bergabung bersamanya?” tanyaku sekali lagi. “Mereka temanku, saat mereka berterimakasih.. itu sudah cukup bagiku” balas Adriani sembari tersenyum.

Aku mengingat kembali apa yang sering dilakukan sekumpulan gadis gadis itu pada Adriani dulu. Aku berpikir apakah Adriani tak sadar kalau sekumpulan gadis gadis itu hanya datang kepadanya ketika mereka hanya membutuhkan pertolongan? Tapi aku yakin, Adriani pasti merasakan hal yang sama dengan pemikiranku. “Mengapa kamu selalu menerima permintaan tolong mereka? Mereka juga hanya ingin menguntungkan diri mereka sendiri. Atau sekali kali tolak dong kalo mereka minta tolong” kataku yang semakin penasaran dengan sikap Adriani. “Kalau mereka bersikap seperti itu padaku, apa berarti aku harus bersikap hal yang sama dengan mereka?” jawaban Adriani yang membuatku terkejut dengan pemikirannya yang dewasa. “Kamu pasti tak asing dengan yang namanya bulan?” tanya balik Adriani yang kujawab dengan anggukan mengerti dan separuh heran. “Bulan sendirian mengitari bumi, namun keberadaanya begitu penting. Sinarnya begitu terang di malam hari dan mampu membuat setiap jiwa yang meratapinya menjadi damai. Aku pun juga ingin seperti itu, meskipun sering merasa sendirian.. tapi aku ingin selalu bermanfaat untuk orang lain” penjelasan Adriani yang menghilangkan seluruh rasa penasaranku membuat diriku sekali lagi tak bergeming.

Adriani membuatku sadar bahwa membalas sebuah keburukan dengan kebaikan adalah balas dendam terbaik yang tak akan pernah melukai siapapun. Dia, Adriani menjadi bulan kedua yang aku kenal.

Oleh: Nirina Ayudya R/9D

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *