“Untuk Dia yang Berada Di Sana” Karya Hanacyma Tsabita

Untuk Dia yang Berada Di Sana

Hanacyma Tsabita  Kelas 9E

Handphone keluaran lama berwarna hitam yang berada di samping bantalnya berbunyi, menderingkan nada dering kesukaannya yang selalu ia dengar setiap pagi di sebelah telinganya. Tangannya menggapai untuk mematikan alarm yang sudah berbunyi dua kali sejak tadi. Surai hitam legamnya ia usak dan bangun dari tempat tidur, membereskannya sebelum bangkit untuk pergi ke dalam kamar mandi. Dirinya baru saja meraih handuk, suara teriakan yang menggelegar dari dapur membuatnya terlonjak dan mengintip sedikit dari balik dinding. Melihat sang ayah dan sang ibu yang kembali bertengkar di dalam dapur membuatnya menghembuskan nafasnya pelan dan menunjukkan seluruh kepalanya, bertujuan agar sang ibu dan ayah dapat melihatnya.

“bu… bisakah jangan bertengkar di dapur? “pintanya, membuat kedua orang tua itu menoleh ke arah anak lelaki semata wayang mereka. Keduanya menoleh dan sedikit salah tingkah saat sang anak melihat keduanya tengah bertengkar di dalam dapur. Sang ibu hanya tersenyum dan mengangguk.

Jaka Rahardian Pratama, nama dari lelaki yang baru saja menginjak kerasnya dunia orang dewasa. Tubuhnya yang kurus kering, sedikit tinggi, dan penampilan yang sedikit berantakan membuat beberapa orang akan mengejek dirinya tanpa segan. Namun apakah Jaka peduli dengan itu semua? Mungkin sedikit. Sepenuhnya? Dia akan menganggap semua itu hanyalah cobaan dari Sang Tuhan. Dirinya hanya bisa mengambil hikmah dari semua masalah yang sudah banyak ia lewati.

Lelaki itu memilih untuk  pergi dari rumahnya agar segera sampai di kampus dimana dirinya tengah menapung ilmunya sekarang. Perut ratanya berbunyi, mengomeli dirinya yang melupakan sarapan saat sebelum pergi tadi. Mulutnya menggerutu pelan, merutuki kebodohannya yang tak pernah hilang sejak dahulu kala. Motor bebek keluaran lama yang di turun temurunkan oleh sang ayah ia parkirkan di depan minimarket. Kaki berlapis sepatu berwarna hitam yang sudah robek itu menginjak marmer putih dari minimarket yang ia datangi. Mengambil beberapa bungkus roti lapis dan juga dua susu kotak lalu membayarnya di kasir. Hanya menghabiskan waktu sekitar lima menit di dalam minimarket, dengan cepat ia keluar. Kembali menaiki motor bebek berwarna jingga yang terparkir dengan rapi. Hanya untuk persekian detik, motor keluaran lama itu berbunyi dengan berisik. Hanya saja yang membuat bingung Jaka adalah motornya yang tak bisa berjalan dan sedikit terasa aneh. Kepalanya ia tolehkan kebelakang untuk melihat kondisi dari ban belakangnya yang tampak kempos dan membuatnya mau tak mau menuntun sepeda motor itu hingga sampai ke tambal ban terdekat.

“huh… terjadi lagi! “ keluhnya kesal.

Saat waktu untuk makan siang tiba, kepalanya dipukul dari belakang dengan tangan seseorang, membuat Jaka sedikit mengerang kesakitan. Ia menoleh ke belakang dan dengan sekejap roti yang berada di tangannya direbut membuatnya terdiam sejenak. Menatap sang pelaku dengan pandangan takut.

“kenapa menatapku seperti itu? Mau apa? Kau mau roti ini? “Jaka menganguk putus – putus. Membuat lelaki yang lebih besar di depannya itu hanya tersenyum licik. “Ambil saja sendiri dari tangan ku. “lelaki itu menoleh ke belakang. Menatap  teman – temannya yang masih diam saja. Lelaki bertubuh besar itu menggesturkan dengan gerakan kepalanya ke arah Jaka.

“Habisi saja dia. “perintahnya yang langsung dituruti oleh teman – temannya yang hanya menganguk menuruti perintahnya. Lelaki itu pergi ke belakang untuk melihat teman – temannya yang akan bersiap – siap untuk menghajar Jaka. Roti yang ia rebut dari Jaka itu dimakannya dengan khidmat seraya menatap Jaka yang sudah dihajar habis – habisan oleh para temannya yang disruruhnya tadi. Lelaki itu tersenyum senang saat melihat Jaka yang sudah babak belur tergeletak di tanah.

“jika kau tetap seperti ini terus kau akan jadi bahan bulan – bulanan kami di kampus untuk selamanya, Jak! Ingat itu! SELAMANYA! “ucap lelaki itu dengan penuh penekanan di setiap kata yang dia katakan. Sebelum pergi dengan teman – temannya, tidak lupa ia membuang bungkus plastik dari roti lapis yang ia rebut tadi. Jatuh tepat dia atas kepala Jaka yang baru saja memungut kacamatanya yang patah di atas rerumputan basah.

Lelaki itu memungut semua buku dan juga tas selempang yang masih tertata rapi di atas bangku taman. Mengambilnya dan segera berlari ke arah dimana motornya terparkir. Menaikinya dan segera mengendarainya menjauh dari kampus besar nan luasnya. Mengendarai motor itu dengan cepat tanpa memperdulikan peraturan yang ada. Membanting setir hingga tepat berhenti di depan gedung kosong yang tak pernah kembali di lanjutkan oleh sang arsitektur. Melempar helm yang ia kenakan dan berlari memasuki gedung kosong yang terbuka itu.

Kacamata patah yang masih ia kenakan itu ia lepas, mengusap air mata yang baru saja mengalir dari manik sebelah kirinya. Menatap keseluruhan dari Kota Jakarta dari atas gedung kosong tak terawat itu. Duduk di salah satu gundukan semen keras yang mencondong keluar dari gedung. Menatap kota yang tampak begitu padat dan luas dengan tatapan sedih. Jaka dengan tangan lemas mengeluarkan satu lembar kertas dan juga  sebuah pena. Menuliskan “CEPAT  ATAU LAMBAT AKU AKAN BERUBAH DAN MELAMPAUINYA! “ diselembaran kertas itu dan melipatnya hingga berbentuk sebuah pesawat.

Jemari – jemarinya bergerak untuk melempar kertas yang berada di tangannya itu sebelum sebuah suara  dari  langkah kaki mengintrupsinya untuk menghentikan gerakannya tadi. Kepalanya menoleh ke belakang. Menatap lelaki lainnya yang mentapnya dengan pandangan terkejut.

“oh… halo! Selamat siang! “sapanya dengan suara tersendat membuat Jaka hnya tersenyum membalas sapaannya. Lelaki dengan tubuh gempal dan bergelambir lemak itu duduk di samping Jaka.

“apa aku boleh duduk di sini? “tanyanya pelan membuat Jaka tersenyum dan sedikit bergeser, memberikan tempat untuk lelaki gendut di sampingnya. “silahkan. “jawabnya dengan suara pelan membuat lelaki gendut di sampingnya itu menyamankan dirinya.

“boleh aku tanya mengapa kau di sini? “Jaka menoleh lalu menggidikkan bahunya. “aku selalu berada di sini untuk merenung dan melepas beberapa pesawat terbang. “jawabnya pelan membuat lelaki bertubuh gempal itu sedikit mendekat dan melihat pesawat terbang yang berada di tangan Jaka.

“aku juga seperti  itu! Tunggu sebentar aku ikut! “ucap lelaki itu dan mengeluarkan selembar kertas dan juga pena dari dalam tasnya. Menuliskan beberapa kata yang tidak mau Jaka intip, karena menurutnya itu adalah sebuah privasi. Lelaki dengan tubuh gempal itu melipat lembaran kertas yang ia pegang dan menunjukkannya ke arah Jaka dan tersenyum tulus.

“mau melemparkanya bersama? “tawar Jaka yang di angguki oleh lelaki bertubuh gempal itu. Keduanya menatap ke depan, menatap Kota Jakarta yang tampak indah dengan langit berwarna jingga bergradarsi dengan warna merah muda, meskipun tertutup dengan beberapa gedung  pencakar langit. Keduanya masih bisa melihat pemandangan apik itu dari atas sini.

Tanpa mereka sadari, kedua kertas yang terlipat menjadi pesawat terbang itu jatuh tepat di hadapan kedua orang yang tampak tengah merenung juga. Kedua orang yang mendapatkan kertas keberuntungan berbentuk pesawat terbang itu menatap ke atas, menatap langit yang tampak tengah menunjukkan keindahannya. Tersenyum, dan berterimakaih kepada Tuhan, karena telah memberikan kertas yang berisi sebuah solusi dari renungan mereka yang di buat entah oleh siapa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *